Mobil RV itu membuka dan seorang pria, kelihatan seperti berumur 60-an, beranjak keluar dan berjalan memasuki toko kelontong. Ia mengenakan topi dengan tepi lebar seperti topi koboi. Benar2 kelihatan aneh dan eksentrik.
Pada waktu itu, aku berada di dalam toko. Aku tak bisa berhenti memandangi pria berpenampilan aneh itu. Ia mengambil sebuah keranjang belanjaan dan mulai memasukkan perban dalam jumlah banyak dan perlengkapan medis lainnya. Ia juga membeli sebotol soda 1,5 L.
Ketika ia hendak membayar di kasir, mata kami bertemu. Ia akhirnya sadar bahwa semenjak tadi aku terus memperhatikannya. Akupun segera mengalihkan pandangan, berpura-pura membaca majalah yang dipajang di dekatku. Aku mulai merasa tak nyaman, namun aku terus mencoba sebaik mungkin untuk tidak mempedulikannya.
Akhirnya, pria aneh itu meninggalkan toko. Saatnya aku dan Kazuya berganti giliran. Namun saat aku berjalan keluar, aku memperhatikan Kazuya dan pria itu bercakap-cakap.
“Hei! Dia akan mengantar kita!” serunya.
Sial! Kesan pertamaku terhadap pria itu amatlah buruk, namun apa boleh buat. Kami tak punya pilihan lain. Mungkin saja dia hanyalah pria tua yang normal dan sebenarnya baik, aku mencoba menenangkan diriku.
Aku berjalan sambil menggumam kesal, namun aku sudah terlalu lelah untuk berdebat dengan Kazuya.
“Tenang!” Kazuya menepuk bahuku. “Ia adalah tipe orang yang suka aktivitas di alam bebas. Makanya ia mengenakan topi itu.”
Setelah aku masuk ke dalam RV itu, barulah aku memaki dalam hati, “Sial! Ini aneh! Benar-benar aneh!”.
Aku tak tahu mengapa, namun orang ini benar2 aneh! Dan aku tak mau satu mobil dengan mereka!
Aku tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata, namun aku hanya merasa semua ini sangatlah ganjil. Mungkin itulah yang disebut dengan insting. Kau tak bisa menjelaskannya, kau hanya tahu.
Di dalam van ini ada satu keluarga. Seharusnya aku sudah menduga bahwa tak mungkin seseorang mengendarai mobil sebesar ini sendirian. Dan keluarga ini, sama seperti ayahnya, juga terlihat aneh.
Sang ayah yang merangkap sopir, berumur sekitar 60-an. Aku sudah menyinggungnya tadi.
Sang ibu, duduk di sampingnya, berumur lebih tua, mungkin 70-an.
Anak kembar mereka, mungkin berumur 40-an.
Ketika seseorang berada dalam situasi yang tak ia inginkan, mungkin indranya akan bereaksi lebih cepat.
Itulah yang aku rasakan. Orang biasa mungkin tak menyadarinya, namun aku memperhatikan, semua jenis baju dan aksesori yang mereka kenakan sama. Baju, celana, sepatu, bahkan gaya rambut mereka. Mereka semua juga duduk dengan postur tubuh yang sama, bahkan dengan ekspresi wajah yang sama.
Kazuya juga speechless, sama seperti aku. Pokoknya kalian takkan mengerti betapa anehnya situasi ini kecuali kalian mengalaminya sendiri.
“Silakan masuk, kita akan segera berangkat.” kata sang ayah. Kami melakukan apa yang ia katakan karena menyadari kami sudah telanjur terjun dalam situasi ini.
Pertama kami mengucapkan “Halo” dan menceritakan sedikit tentang diri kami.
Karena sang ibu duduk menghadap ke depan, aku tak menyadarinya saat pertama kali masuk. Namun ia berdandan dengan sangat aneh. Wajahnya tertutup bedak putih yang amat tebal. Untuk menambah aneh situasi tersebut, ia mengatakan bahwa namanya adalah Saint Josefine.
Dan nama ayahnya adalah Saint George.
Nama kedua anak mereka lebih ganjil lagi. Mereka adalah Red dan Blue. Salah satu dari mereka memiliki wajah kemerah-merahan; ia adalah Red. Sedangkan yang satunya memiliki tanda lahir berwarna biru di pipinya; ia adalah Blue.
Apakah normal memberi nama anak kalian seperti itu?
Kami mencoba mengabaikan perilaku aneh keluarga ini dan mencoba mencari tempat dimana mereka bisa menurunkan kami sesegera mungkin.
Mereka gila. Mereka pasti gila.
Situasi menjadi cukup canggung bagi kami. Mereka kadangkala menanyakan sesuatu dan kami menjawabnya seperlunya. Si anak kembar tak mengucapkan sepatah katapun. Mereka meneguk air soda dari botol kola dengan gerak tubuh yang sama, berirama. Mereka bahkan bersendawa secara bersamaan. Hal ini membuat bulu kudukku berdiri. Aku sudah tak tahan lagi! Aku harus keluar dari sini!
Tanpa aku duga, lima belas menit semenjak kami masuk, Kazuya berbicara dengan sopan, “Terima kasih atas tumpangannya, namun anda bisa menurunkan kami di sini.”
Namun sang ayah tak mengizinkan kami turun. Sang ibu mulai berteriak, “Jangan sekarang! Beruang akan memakan kalian!”
Namun kami terus bersikeras untuk diturunkan saja.
“Paling tidak ikutlah makan malam dengan kami.” kata sang ayah. Ia tampaknya tak memiliki keinginan untuk melepaskan kami.
Kemudian si kembar mengeluarkan kembang gula dari kantung mereka bersama-sama dan mulai menjilatinya, dengan gerakan lidah yang sama persis satu sama lain.
Ini sudah cukup!
“Kita benar-benar dalam masalah besar!” bisik Kazuya. Aku mengangguk pelan. Sang ayah dan ibu terus-menerus melancarkan pertanyaan kepada kami begitu cepat, sehingga kami kewalahan untuk menjawabnya.
“APA KALIAN MENDENGARKU?” ia berteriak sekali ketika kami tak bisa menjawab pertanyaannya. Si kembar terkikik. Aku dan Kazuya bertukar pandangan. Kami sama-sama ketakutan.
Mobil RV itu keluar dari jalur jalan raya dan masuk ke sebuah jalan pedesaan yang berbatu-batu.
“Maafkan kami,” ucap Kazuya kembali sambiil mencondongkan tubuhnya ke arah sang pengemudi, “Namun kami benar-benar harus turun di sini. Terima kasih.”
“Namun kami akan menyiapkan makan malam.” jawab sang ayah. Ia mengatakan bahwa istrinya akan membuat masakan yang sangat lezat dan kami harus mencobanya.
Kami terdiam kembali. Jika kami memiliki kesempatan, kami akan lari. Tentu saja sangat berbahaya untuk melompat dari atas RV yang tengah berjalan, maka kami akan menunggu hingga mobil ini berhenti.
Setelah berkendara di jalan jelek itu selama 30 menit, akhirnya kami tiba di sebuah tanah lapang di dekat sungai kecil.
“Nah, kita sudah tiba!” seru sang ayah dengan nada gembira.
“Horeee horeee ...” terdengar suara kekanak-kanakan dari balik pintu (aku berasumsi itu adalah toilet) di bagian belakang mobil.
Ya Tuhan, masih ada satu lagi? Jantungku serasa mau copot.
“Mamoru juga sudah lapar, kan?” kata sang ibu. Mamoru? Hanya satu anggota keluarga ini yang memiliki nama yang normal. Dari suaranya, ia pasti masih kecil.
Si kembar, yang sejak tadi tak mengeluarkan sepatah katapun, mulai menangis dengan bersamaan, “Jangaaaaaan .... kalian tak bisa membiarkan Mamoru keluar!”
“Iya, itu benar. Karena Mamoru lemah.” kata sang ibu.
“Ahahaha!” sang ayah tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
“Sial, mereka semua gila! GILA!” Kazuya berbisik di telingaku.
Kamipun keluar dan mendapati seorang pria telah membuat api unggun di tepi sungai. Oh tidak, masih ada satu orang, seperti ini belum cukup buruk saja. Aku mulai merasa sangat putus asa.
Orang terakhir itu tampak sangat tinggi, ia pasti memiliki tinggi badan sekitar 2 meter! Ia memakai topi dan baju yang sama seperti yang dikenakan sang ayah. Topinya agak tertarik ke bawah sehingga kami tak bisa melihat wajahnya.
Melalui cahaya api unggun, aku bisa melihat sebuah palang merah tercoreng di depan RV yang tadi kami tumpangi. Ada sesuatu yang benar-benar menakutkan dengan semua situasi ini.
Orang bertubuh tinggi itu mulai memotong sesuatu menggunakan pisau besar sambil menyiulkan “Mickey Mouse’s March”*. Melihat rambut yang begitu lebat di sesuatu yang ia potong itu, aku berasumsi itu adalah kaki seekor binatang yang besar. Kemungkinan babi liar atau bahkan seekor anjing. Aku tak tahu apa itu, namun yang jelas aku tak mau memakannya. Semula kami berencana kabur secepat mungkin begitu kaki kami menginjak tanah, namun melihat pria dengan pisau besar itu, nyaliku menjadi ciut.
“Nah, ayo silakan duduk!” perintah sang ayah. Sang pria tinggi kemudian duduk dan mulai memasukkan bumbu2 ke dalam sebuah kuali besar berisi air mendidih.
“Ehm ... aku perlu buang air kecil sebentar.” kata Kazuya.
“Tentu saja, ide yang bagus Kazuya!” aku bersorak dalam hati. Aku akan segera mengikutinya memasuki hutan.
“Jangan lama-lama!” teriak sang ibu dari belakang kami. Tepat begitu kami berbalik hendak memasuki hutan, aku sempat menoleh ke arah RV itu dan melihat sebuah dahi muncul tiba-tiba di kaca jendela. Posisi mata anak itu jauh lebih rendah daripada orang normal dan ia mulai memukuli kaca jendela.
BANG! BANG!
Ia lalu menekankan wajah dan tangannya ke kaca dan berteriak, “MAAAAAAAAA!”
Aku sudah tak bisa lagi menanggungnya! Kami segera berlari tunggang langgang masuk ke dalam hutan secepat kami bisa.
Di belakang kami, aku mendengar sang ayah dan ibu meneriakkan sesuatu, namun aku dan Kazuya tak punya waktu dan tenaga untuk memperhatikan apa yang mereka teriakkan.
“Sial! Sial! Sial!” Kazuya memaki sepanjang perjalanan, setiap kami melewati pohon demi pohon. Kami berdua jatuh terjerembap ke tanah tak terhitung banyaknya, namun kami kembali bangkit dan berlari secepat mungkin.
Aku memegang sebuah senter kecil di salah satu tanganku ketika kami berlari menuruni gunung, mencoba setengah mati untuk menemukan jalan besar dimana kami bisa meminta bantuan.
Pikiranku mulai mempermainkanku. Kukira tadi aku melihat cahaya dari kejauhan, mungkin sebuah rumah atau lebih baik lagi, sebuah desa. Namun setelah lari berjam-jam ke arah cahaya itu, kami tidak lagi melihatnya. Kami benar-benar tersesat.
Kami berdua sangat lelah dan kaki kami mulai kesakitan. Kami akhirnya ambruk terkulai ke tanah.
“Apa kau pikir keluarga Manson** tadi mengejar kita?”
“Mereka tidak akan memakan kita!” aku mencoba menenangkan kami berdua. “Mereka takkan mengejar kita. Ini bukan film slasher. Mereka hanya keluarga yang aneh, bukan?”
“Bagaimana dengan barang-barang kita? Kita meninggalkan tas kita di RV itu.”
“Well, aku membawa dompet dan handphone bersamaku. Kurasa yang hilang hanya baju-bajuku saja.”
“Aku benar-benar mengacaukannya ya?” Kazuya terengah-engah.
Aku tertawa, “Haha. Ini bukan salahmu.”
Aku pikir kelelahan kami sudah tak lagi secara fisik, namun juga mental kami. Keanehan yang menimpa kami benar2 menguras seluruh energi kami dan begitu kami lolos, kami mulai menyadari bahwa apa yang kami alami sebenarnya sangatlah lucu. Setelah kami puas menertawakan nasib kami, kegelapan pekat dan aroma hutan membuat kami kembali tersadar.
Realitanya, kami tersesat.
Kami memang berhasil kabur dari keluarga aneh itu, namun kami menghadapi masalah baru. Kami berada terlalu jauh ke dalam hutan dan kehilangan arah.
“Bukankah lebih baik jika kita menunggu di sini hingga pagi? Aku tak mau membenarkan perkataan si mama Manson tadi, tapi jika memang ada beruang di sekitar sini ...” aku ingin secepatnya keluar dari sini, namun menjelajahi hutan di tengah kegelapan total seperti ini sama saja bunuh diri. Kami memutuskan untuk duduk bercakap-cakap hingga kami berdua tertidur.
Aku terbangun tiba-tiba dan secara refleks memeriksa handphone-ku.
Sudah jam 5 pagi dan fajar mulai menyingsing. Aku melihat ke sekelilingku dan menyadari sesuatu yang sangat menakutkan.
Kazuya tak ada di manapun juga.
Ia menghilang.
BERSAMBUNG...
0 komentar:
Post a Comment
Jika ada unek - unek dari dalam hati yang paling dalam,,, Keluarkanlah...
Dan itu akan membuat anda lebih legah